Senin, 14 Februari 2011


Ah, Muhammad, Muhammad. Betapa kami mencintaimu. Betapa hidupmu bertaburan emas permata kemuliaan, sehingga luapan cinta kami tak bisa dibendung oleh apa pun. Dan jika seandainya cinta kami ini sungguh-sungguh, betapa tak bisa dibandingkan, karena hanya satu tingkat belaka di bawah mesranya cinta kita bersama kepada Allah.

Akan tetapi tampaknya cinta kami tidaklah sebesar itu kepadamu. Cinta kami tidaklah seindah yang bisa kami ungkapkan dengan kata, kalimat, rebana, dan kasidah-kasidah.Dalam sehari-hari kehidupan kami, kami lebih tertarik kepada hal-hal yang lain.

Kami tentu akan datang ke acara peringatan kelahiranmu di kampung kami masing-masing, namun pada saat itu nanti wajah kami tidaklah seceria seperti tatkala kami datang ke toko-toko serba ada, ke bioskop, ke pasar malam, ke tempat-tempat rekreasi.

Kami mengirim shalawat kepadamu seperti yang dianjurkan oleh Allah karena Ia sendiri beserta para malaikat-Nya juga memberikan shalawat kepadamu. Namun pada umumnya itu hanya karena kami membutuhkan keselamatan diri kami sendiri.

Seperti juga kalau kami bersembahyang sujud kepada Allah, kebanyakan dari kami melakukannya karena kewajiban, tidak karena kebutuhan kerinduan, atau cinta yang meluap-luap. Kalau kami berdoa, doa kami berfokus pada kepentingan pribadi kami masing-masing.

Sesungguhnya kami belum mencapai mutu kepribadian yang mencukupi untuk disebut sebagai sahabatmu, Muhammad. Kami mencintaimu, namun kami belum benar-benar mengikutimu. Kami masih takut dan terus menerus tergantung pada kekuasaan-kekuasaan kecil di sekitar kami. Kami kecut pada atasan. Kami menunduk pada benda-benda. Kami bersujud kepada uang, dan begitu banyak hal-hal yang picisan.

Setiap tahun kami memperingati hari kelahiranmu. Telah beribu-ribu kali umatmu melakukan peringatan itu, dan masing-masing kami rata-rata memperingati kelahiranmu tiga puluh kali. Tetapi lihatlah : kami jalan di tempat. Tidak cukup ada peningkatan penghayatan. Tidak terlihat output personal maupun sosial dari proses permenungan tentang kekonsistenan. Acara peningkatan maulidmu pada kami mengalami involusi, bahkan mungkin degradasi dan distorsi.

Negarawan Agung

Zaman telah mengubah kami, kami telah mengubah zaman, namun kualitas percintaan kami kepadamu tidak kunjung meningkat. Kami telah lalui berbagai era, perkembangan dan kemajuan. Ilmu, pengetahuan, dan teknologi kami semakin dahsyat, namun tak diikuti dahsyatnya perwujudan cinta kami kepadamu.

Kami semakin pandai, namun kami tidak semakin bersujud. Kami semakin pintar, namun kami tidak semakin berislam. Kami semakin maju, namun kami tidak semakin beriman. Kami semakin beriman, namun kami tidak semakin berihsan. Sel-sel memuai. Dedaunan memuai. Pohon-pohon memuai. Namun kesadaran kami tidak. Cinta dan internalisasi ketuhanan kami tidak.

Kami masih primitif dalam hal akhlak—substansi utama ajaranmu. Padahal kami tak usah belajar soal akhlak karena tidak menjadi naluri manusia; berbeda dengan saudara kami kaum Jin yang ilmu tak usah belajar namun akhlak harus belajar. Akhlak kaum jin banyak yang lebih bagus dari kami.

Sebab kami masih bisa menjual iman dengan harga beberapa ribu rupiah. Kami bisa menggadaikan Islam seharga emblem nama dan segumpal kekuasaan. Kami bisa memperdagangkan nilai Tuhan seharga jabatan kecil yang masa berlakunya sangat sementara. Kami bisa memukul saudara kami sendiri, bisa menipu, meliciki, mencurangi, menindas, dan mengisap, hanya untuk beberapa lembar uang.

Padahal kami mengaku sebagai pengikutmu, Ya Muhammad. Padahal engkau adalah pekerja amat keras dibanding kepemalasan kami. Padahal engkau adalah negarawan agung dibanding ketikusan politik kami. Padahal engkau adalah ilmuwan ulung dibanding kepandaian semu kami. Padahal engkau adalah seniman anggun dibanding vulgar-nya kebudayaan kami.

Padahal engkau adalah pendekar mumpuni dibanding kepengecutan kami. Padahal engkau adalah strateg dahsyat dibanding berulang-ulangnya keterjebakan kami oleh sistem Abu Jahal kontemporer.

Padahal engkau adalah mujahid yang tak mengenal putus asa dibanding deretan kekalahan-kekalahan kami. Padahal engkau adalah pejuang yang sedemikian gagah perkasa terhadap godaan benda emas dibanding kekaguman tolol kami terhadap hal yang sama.

Padahal engkau adalah moralis kelas utama dibanding kemunafikan kami. Padahal engkau adalah panglima kehidupan yang tak terbandingkan dibanding keprajuritan dan keseradaduan kepribadian kami. Padahal engkau adalah pembebas kemanusiaan.

Padahal engkau adalah pembimbing kemuliaan. Padahal engkau adalah penyelamat kemanusiaan. Padahal engkau adalah organisator dan manajer yang penuh keunggulan dibanding ketidaktertataan keumatan kami.

Padahal engkau adalah manusia yang sukses menjadi nabi dan nabi yang sukses menjadi manusia, di hadapan kami. Padahal engkau adalah liberator budak-budak, sementara kami adalah budak-budak yang tak pernah merasa ,menyadari, dan tak pernah mengakui, bahwa kami adalah budak-budak.

Sementara kami adalah budak-budak—dalam sangat banyak konteks yang sudah berbincang tentang perbudakan, segera mencari kalimat-kalimat, retorika, dan nada yang sedemikian indahnya sehingga bisa membuat kami tidak lagi menyimpulkan bahwa kami adalah budak-budak.

Di negara kami ini, umatmu berjumlah terbanyak dari penduduknya. Di negeri ini, kami punya Muhammadiyah, punya NU, Persis, punya ulama-ulama dan MUI, ICMI, punya bank, punya HMI, PMII, IMM, Ashor, Pemuda Muhammadiyah, IPM, PII, pesantren-pesantren, sekolah-sekolah, kelompok-kelompok studi Islam intensif, yaysan-yayasan, mubalig-mubalig, budayawan, dan seniman, cendekiawan, dan apa saja.

Yang kami tak punya hanyalah kesediaan, keberanian, dan kerelaan yang sungguh-sungguh untuk mengikuti jejakmu.