Malam itu jelas sudah lewat waktu Maghrib. Demikian halnya waktu Isya’, bahkan sholat tarawihpun telah usai ditunaikan. Bertepatan dengan malam ke-13 Ramadhan 1432 H, forum bulanan Kenduri Cinta mengangkat tema “Bangsa Penunggu Maghrib”.
Diterangi sinar bulan yang belum sepenuhnya purnama, maiyyah malam itu diawali dengan tadarusan bersama. Satu per satu jamaah mulai hadir, hingga komando untuk merapatkan barisanpun diteriakkan sebagai tanda acara akan segera memasuki sesi inti. Mengantarkan jamaah untuk lebih membumikan tema diskusi yang diangkat, maka didaulatlah Mas Adi, Bang Rusdi, dan Ibrahim untuk memaparkan mukadimah Bangsa Penunggu Maghrib.
Mas Adi menguraikan bahwa penunggu adalah seseorang yang secara pasif menunggu sesuatu, sedangkan petunggu merupakan orang yang mengerjakan menunggu secara aktif. Maksudnya aktif adalah ia justru mengerjakan Maghrib, sebuah fase transisi kehidupan dari terang kepada gelap, sebuah cita-cita tentang perubahan hidup yang sangat mendasar dan penting. Perubahan ke arah manakah yang akan dibawa akan sangat tergantung dari niat, tingkat keikhlasan, serta pilihan jalan yang mana yang akan ditempuh.
Senada dengan uraian sebelumnya, Ibrahim lebih menjurus kepada akar kata maghrib sendiri. maghrib memiliki akar kata yang sama dengan gharby, artinya barat, tempat tenggelamnya matahari atau cahaya. Dikaitkan dengan ibadah puasa yang tengah kita jalani, maghrib merupakan saat para pelaku puasa membuka puasanya. Puasa memiliki pengertian yang sangat luas, apapun yang sebenarnya halal, bahkan menjadi hak kita, namun kita tinggalkan atau tahan sejenak, itulah puasa. Puasa tidak hanya menahan segala hal yang membatalkan puasa dari fajar hingga Maghrib. Puasa dalam arti luas bisa diumpamakan seorang cerdik pandai yang terpaksa menjadi seorang pendidik di daerah terpencil karena ketiadaan akses maka ia menjalani banyak keprihatinan.
Fase Maghrib yang banyak dinanti orang sehingga bangsa kita menjadi bangsa penunggu maghrib adalah sebuah kesempatan sekaligus tantangan pembuktian diri tentang seberapa berkualitas puasa yang dijalani sebelumnya. Artinya bahwa fase transisi ini bisa berpeluang menjadi sesuatu hal yang positif, namun bisa juga menjadi negatif. Bila transisi dijalani dengan tetap memegang sebuah kesadaran bahwa setelah Maghrib akan hadir malam dengan kegelapannya, maka kita tidak akan lupa diri dan melepaskan kendali kita terhadap nafsu yang seharian telah kita kekang dalam puasa. Sebaliknya bila dalam berbuka itu kita lakukan dengan pelampiasan dendam kesumat, kita sikat semua keinginan akan makan, minum dan segala urusan mulut, kerongkongan, perut hingga bawah perut, maka kita akan kehilangan momentum untuk mengisi malam dengan tarawih, tadarus dan tahajud, sehingga kesempatan untuk menerbitkan fajar kehidupan yang lebih baikpun semakin sulit diraih. baca selanjutnya >>...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar